Radin Intan II adalah salah satu pahlawan nasional dari Propinsi
Lampung yang yang memimpin perlawanan rakyat Lampung ketika melawan
penjajahan Belanda. Atas jasa dan pengorbanannya dalam membela
kepentingan rakyat, oleh pemerintah dijadikan sebagai pahlawan nasional,
dan dibuatlah monumen di sekitar lokasi makamnya. Radin Intan II
sebenarnya putra dari Raden Imba II, sedangkan Raden Imba II adalah
putra dari Radin Intan.
Apabila dilihat dari silsilahnya Radin Intan I adalah keturunan dari
Fatahillah yang merupakan anak dari Ratu Darah Putih dan Tun Penatih.
Dia adalah pemimpin Keratuan Darah Putih di Lampung. Sedangkan Raden
Imba II adalah keturunan Fatahillah anak dari Ratu Darah Putih dan Tun
Penatih yang menikah dengan Ratu Mas. Sedangkan Radin Intan II adalah
satu keturunan dari Fatahillah yang menyebarkan agama Islam di Banten
sekitar abad XVI.
Radin Intan II dikenal sebagai pejuang dalam menentang penjajahan
Belanda di Lampung dan gugur sebagai pahlawan. Ia adalah putra dari
Raden Imba II, beliau dipelihara dan dibesarkan oleh ibu dan keluarganya
dengan penuh rahasia. Ia lahir di hutan tahun 1831. Ketika Benteng
Raja Gepei jatuh ke pemerintahan Belanda tahun 1834, ia berusia 3
tahun. Saat kecil Radin Intan II diliputi suasana perang melawan
Belanda dan sekutu-sekutunya. Raden Intan II meninggal saat usia masih
muda di saat ia belum menikah, sehingga tidak mempunyai keturunan lagi.
Sebelum kedatangan Belanda ke Lampung, Lampung merupakan salah satu
daerah yang mendapat pengaruh kekuasaan dari Banten, hal itu disebabkan
Lampung waktu itu, kaya akan rempah-rempah. Namun di saat kedatangan
Belanda, secara perlahan Lampung dapat dikuasai oleh Belanda. Kedatangan
Belanda ke Indonesia, tujuan utama adalah berdagang sambil mencari
rempah-rempah.
Perlawanan Radin Intan terhadap penjajahan
Belanda, pertama dilakukan oleh Radin Intan I. Raden Intan I
(1751-1828), adalah penguasa Keratuan Darah Putih atau Negara Ratu yang
berpusat di Kahuripan. Daerah ini sekarang termasuk wilayah Kecamatan
Penengahan Kabupaten Lampung Selatan. Bagi Belanda Radin Intan I
dianggap sebagai orang yang keras kepala, ia tidak mau menuruti apa
perintah Belanda, bahkan iapun cenderung untuk melawan dari segala
kebijakan yang dibuat pemerintah Belanda, seperti monopoli perdagangan
lada.
Meskipun demikian dibalik sikap Radin Intan I yang keras kepala
tersebut, Belanda tetap memperlakukan Radin Intan I dengan sifat yang
lunak. Sikap lunak sengaja diperlakukan oleh pemerintah Belanda
(khususnya Gubernur Jenderal Belanda, H.W. Daendels), sebab Daendels
mengakui kepemimpinan Raden Intan I sebagai penguasa di Lampung.
Disamping itu, perlakukan lunak Belanda khususnya Daendels tersebut
didasarkan atas perhatian Belanda yang terpecah, dikarenakan perhatian
Belanda lebih tercurah pada persiapan untuk menghadapi ancaman pasukan
Inggris. Selanjutnya pada kwartal I abad 19 ini, Belanda juga harus
menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830).
Dengan ketidak mampuan Daendels dalam mendekati Radin Intan I
tersebut, akhirnya Radin Intan I mengambil langkah-langkah yang bagi
Belanda sangat membahayakan, seperti menjalin hubungan persahabatan
dengan Daeng Gajah dari Tulang Bawang dan Seputih. Raden Intan pun
sengaja melepaskan diri dari ikatan Belanda. Dengan tindakan yang
diambil Raden Intan ini, menandakan bahwa Radin Intan I dianggap oleh
Belanda sebagai pemberontak dan akan melakukan suatu pemberontakan.
Dengan adanya kekhawatiran tersebut, akhirnya fihak Belanda mengadakan
perundingan dengan Radin Intan I yang isinya :
1. Radin Intan I bersedia mengakiri kekerasan dan membantu pemerintah Belanda.
2. Raden Intan I akan diakui kedudukannya, sebagaimana pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels.
3. Radin Intan I mendapat pensiun sebesar f.1200 per tahun dan saudara-saudaranya masing-masing sebesar f.600 per tahun.
Dari isi perundingan tersebut, pemerintah Belanda memberikan
janji-janji kepada Radin Intan I, sehingga terciptalah suasana damai.
Namun suasana damai tersebut, ternyata tidak memakan waktu lama, karena
hubungan antara pemerintah Belanda dengan Radin Intan I kembali
meruncing. Sebab-sebab meruncingnya hubungan kedua belah pihak tersebut
dikarenakan Pemerintah Belanda secara sepihak melanggar kesepakatan
damai dan dengan terang-terangan menempuh jalan kekerasan.
Pada awal bulan Desember 1825 pemerintah Belanda mengirim utusan
untuk menangkap Radin Intan I, dengan cara mengirim Gezaghebber Lelievre
di Telukbetung bersama Letnan Misonius. Kedatangan kedua orang Belanda
tersebut dilengkapi dengan 35 serdadu dan 7 opas, bergerak menuju Negara
Ratu. Awalnya Radin Intan I menerima dengan baik kedatangan kedua orang
Belanda tersebut, dan Radin Intan pun bersedia dibawa ke Teluk Betung,
tetapi dengan syarat Radin Intan meminta waktu 2 hari dikarenakan sedang
sakit.
Tatkala kedua orang Belanda tersebut sedang istirahat di Negara Ratu,
tiba-tiba diserang oleh pasukan Radin Intan I tanggal 13 Desember 1825,
dan orang-orang Belanda pun berhasil dilumpuhkan. Korban tewas menimpa
Lelievre bersama seorang sersan, sedangkan Letnan Misonius luka
tertembak. Dengan kekalahan Belanda ini maka untuk sementara keadaan di
Lampung kembali tenang, sebab Belanda mulai mencurahkan kekuatannya
untuk menghadapi penyerangan Pangeran Diponegoro. Tiga tahun kemudian
Radin Intan I jatuh sakit hingga meninggal dunia, sedangkan tahta
sebagai pemimpin di Keratuan Darah Putih diwariskan kepada putranya
yaitu Raden Imba II.
Raden Imba II yang mewarisi tahta sebagai Ratu di Lampung ternyata
juga mewarisi sifat-sifat ayahnya yaitu anti terhadap penjajahan
Belanda, dan berusaha untuk melawannya. Sikap anti terhadap penjajahan
Belanda tersebut juga mendapat dukungan dari ayah mertuanya yaitu Kiai
Arya Natabraja dan Kepala Marga Teratas Batin Mangundang, serta rakyat
daerah Semangka. Semasa Raden Imba II menjabat sebagai Ratu Lampung, ia
mempunyai hubungan ke luar istana yang sangat luas, yaitu menjalin
hubungan persahabatan dengan kesultanan Lingga yang diwujudkan dengan
perkawinan saudara perempuannya dengan Sultan Lingga, disamping itu
Raden Imba II juga menjalin persahabatan dengan pelaut Bugis dan Sulu.
Dengan jalinan persahabatan yang dibina Raden Imba dengan beberapa
wilayah di luar Lampung, membuat kekhawatiran di pihak tentara Belanda,
sebab dikhawatirkan Raden Imba II menjalin suatu kekuatan untuk
menyerang Belanda. Ternyata dugaan Belanda tersebut benar, Raden Imba II
melakukan penyerangan di Teluk Lampung. Dengan bantuan rakyat setempat,
Raden Imba II berhasil mengalahkan pasukan Belanda di dekat Kampung
Muton. Serangan yang dilakukan Raden Imba II ini berakibat buruk, sebab
petinggi pemerintah Belanda menderita kerugian, sehingga Asisten Residen
Belanda untuk Lampung yaitu J.A. Dubois meminta bantuan bala tentaranya
dari Batavia, untuk segera mengirim bantuannya guna memadamkan
perlawanan Raden Imba II.
Bala bantuan pun datang dengan kekuatan lima buah Kapal Alexander dan
Dourga, 300 serdadu Belanda, serta 100 serdadu Bugis. Bala bantuan
tersebut dibawah pimpinan Kapten Hoffman dan Letda Kobold. Pasukan
Belanda ini mendarat di Kalianda tanggal 8 Agustus 1832. Pasukan Belanda
juga menuju Kampung Kesugihan dan Negara Putih, tapi sayang tempat
tersebut sudah ditinggalkan oleh Raden Imba II. Untuk melampiaskan
kekesalannya, Belanda membakar semua rumah yang ada di kampung tersebut.
Raden Imba II yang mengetahui kejadian tersebut langsung membangun
kubu pertahanan yang tersebar di beberapa daerah, seperti di Raja Gepeh,
Pari, Bedulu, Huwi Perak, Merambung, Katimbang, dan Sakti. Agar tidak
kehabisan bahan makanan, Raden Imba II juga membangun lumbung-lumbung
persedian makanan, begitu pula untuk mengimbangi kekuatan Belanda, Raden
Imba II menambah senjata, dengan cara melakukan barter dengan Inggris
yang berkuasa di Bengkulu. Pertempuran melawan Belanda pun kembali
terjadi tanggal 9 September 1832 di daerah Gunung Tanggamus. Dalam
pertempuran tersebut, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Hoffman.
Namun dalam perlawanan melawan Belanda kali ini pasukan Raden Imba II
kembali mengalami kemenangan. Dari pasukan Belanda banyak yang tewas,
sedangkan Kapten Hoofman mengalami luka-luka. Dengan kekalahan tersebut,
akhirnya pasukan Belanda ditarik mundur.
Dengan ditariknya
pasukan Belanda dari daerah Gunung Tanggamus tersebut, bukan berarti
pasukan Belanda menerima kekalahan. Artinya justru pasukan Belanda
membangun kekuatan untuk membalas kekalahannya terhadap Raden Imba II.
Kapten Hoffman untuk kedua kalinya memimpin penyerangan terhadap Raden
Imba II. Kali ini Kapten Hofman mengerahkan kekuatan yang lebih besar,
yaitu ditemani oleh 600 serdadu Belanda yang direkrut dari pasukan yang
telah berpengalaman dalam melawan Pangeran Diponegoro. Kapten Hoffman
juga mendapat bantuan pasukan dari Letnan Vicq de Cumtich. Pertempuran
kali ini dapat dikatakan pertempuran besar yang terjadi di Benteng Raja
Gepei. sebab dari keduanya mengalami kerugian yang sangat besar, yaitu
pasukan Raden Imba II kehilangan 100 pasukannya, sedangan pasukan
Belanda hanya 65 orang termasuk Letnan Neuenborger dan Letan Huiseman.
Namun demikian Raden Imba II masih dapat berhasil memimpin pasukannya
untuk mempertahankan Benteng Raja Gepei. Begitu pula pasukan Belanda
masih tertahan dan mendapat bantuan pasukan dibawah pimpinan Kapten
Beldhouder dan Kapten Pouwer. Namun kedua kapten tersebut tewas.
Beberapa
kali kekalahan yang dialami oleh pasukan Belanda dalam menghadapi
setiap perlawanan, bagi Belanda menjadikan suatu cambuk untuk
mengirimkan bala bantuan yang lebih besar, begitu pula yang dialami
Belanda dalam menghadapi beberapa kali perlawanan yang dilakukan oleh
Raden Imba II. Tanggal 23 September 1834, pemerintah Belanda di Batavia
kembali mengirimkan bantuan dalam jumlah yang besar, yaitu 21 opsir
(perwira), dan 800 serdadu istimewa yang dilengkapi dengan meriam besar,
bantuan tersebut dibawah pimpinan Kolonel Elout. Benteng Raja Gepei
yang selama ini dijadikan tempat persembunyian Raden Imba II, oleh
Belanda berhasil dihancurkan dan diduduki, namun Raden Imba II dan
mertuanya Kyai Arya Natabraja berhasil meloloskan diri. Selanjutnya
Raden Imba dan beberapa pasukannya menyingkir ke Kesultanan Lingga
sekaligus minta perlindungan. Namun sayang tempat persembunyiannyapun
diketahui oleh Belanda. Raja Lingga akhirnya mendapat tekanan dari
Belanda, yang isinya apabila tidak menyerahkan Raden Imba II, Kerajaan
Lingga akan mendapat serangan dari Belanda. Akhirnya Raden Lingga pun
menyerahkan Raden Imba II meskipun dengan terpaksa.
Dengan diserahkannya Raden Imba II dan beberapa pengikutnya ke
Belanda, maka mereka ditangkap dan dibawa ke Batavia. Pada saat di
Batavia itulah mertua Raden Imba II dan hulu balangnya Raden Mangunang
meninggal dunia. Sedangkan Raden Imba II dibuang ke Pulau Timor. Raden
Imba II pun akhirnya meninggal di Pulau Timor. Sedangkan istrinya yang
sedang hamil tua dipulangkan ke Lampung.
Dengan meninggalnya Raden Imba II, maka kekuasaan Lampung berada
sepenuhnya di tangan Belanda. Selama itulah kurang lebih 15 tahun,
Lampung sepi dari pemberontakan.
Istri Raden Imba yang telah hamil, beberapa waktu kemudian melahirkan
seorang laki-laki sebagai anak yatim, karena Raden Imba II telah
meninggal dunia. Anak tersebut diberi nama Radin Intan II. Ia meneruskan
jejak leluhurnya sebagai orang yang anti penjajahan.
Pada tahun 1850, Radin Intan II telah menginjak usia 15 tahun, karena
ia sebagai anak tunggal dari Raden Imba II, maka ia pun berhak
meneruskan tahta memimpin Keratuan Darah Putih di Lampung, sehingga ia
pun dilantik sebagai penguasa Negara Ratu tersebut. Ia mulai menata
segala sarana dan prasarana yang telah rusak akibat perlawanan ayahnya
terhadap Belanda. Di antaranya Radin Intan II memperbaiki benteng yang
rusak, dan iapun membangun kembali benteng-benteng baru di antaranya di
Galah Tanah, Pematang Sentok, Kahuripan, dan Salaitahunan. Semua benteng
tersebut dilengkapi dengan parit dan terowongan rahasia. Sedangkan
persenjataannya masih sangat sederhana untuk ukuran sekarang seperti
keris, badik, pedang, dan meriam besar dan kecil. Sedangkan pasukannya
dibagi menjadi unit-unit kecil yang terdiri atas 40 orang dengan
dipimpin oleh seorang komandan prajurit, begitu pula sarana lain juga
dipersiapkan seperti dapur umum atau pejunjongan (untuk menopang
pejuang).
Pertahanan dipusatkan di Gunung Rajabasa, yang secara militer letak
gunung ini sangat strategis dalam menghadapi serangan lawan dari manapun
karena letaknya yang dikelilingi benteng-benteng pertahanan, seperti
sebelah barat dan utara terdapat Benteng Merabung, Galah Tanah, Pematang
Sentok, Katimbang, dan Salai Tabuhan. Sebelah timur terdapat Benteng
Bendulu dan Hawi Perak, sedangkan di kaki-kaki gunung terdapat Benteng
Raja Gepei Cempaka dan Kahuripan Lama.
Sepak terjang Radin Intan II hampir menyerupai ayahnya, yaitu
menggalang persahabatan dengan beberapa tokoh penting seperti
Singabranta, Wak Maas, dan Haji Wakhia, serta rakyat dari Marga Ratu dan
Dataran. Tujuannya penggalangan tersebut adalah untuk meningkatkan
kekuatan pasukan. Bagi Belanda, sepak terjang yang dilakukan oleh Radin
Intan II ini dianggap membahayakan. Oleh sebab itu Belanda mengambil
tindakan yaitu berupaya untuk membujuk dan melakukan diplomasi dengan
Radin Intan II. Dengan syarat-syarat yang cukup menjanjikan, Belanda
berusaha membujuk Radin Intan II agar menghindari permusuhannya dengan
Belanda, dengan imbalan akan diberi pengampunan, ditawari biaya
pendidikan, dan sebagainya.
Namun Radin Intan II menolak segala bujukan tersebut. Karena tawaran
Belanda ditolak, maka Belanda pun pada tahun 1851 mengirim pasukan yang
berkekuatan 400 serdadu yang langsung dipimpin oleh Kapten Tuch. Pasukan
Belanda pun langsung menyerang/menyerbu Benteng Merambung, tetapi
sayang penyerangan Belanda ini mengalami kegagalan. Dan kemenangan ada
di pihak Radin Intan II.
Pada tahun 1853, pemerintah Belanda kembali mengajukan suatu
perdamaian yang isinya agar Radin Intan II menghentikan penyerangan.
Usulan perdamaian kali ini diterima oleh Radin Intan II, dan Radin Intan
II pun menghentikan suatu peperangannya dengan Belanda sehingga suasana
menjadi tenang. Namun sayang suasana tenang itupun hanya berlangsung 2
tahun yaitu sampai 1855. Dan tahun 1856 Radin Intan II kembali melakukan
penyerangan.
Bila diruntut dari perlawanan satu ke perlawanan berikutnya, baik
yang dilakukan oleh Radin Intan I, Raden Imba II, dan Radin Intan II,
ternyata pemerintah Belanda selalu dipihak yang kalah. Oleh karena
pemerintah Belanda ingin mengerahkan bala bantuannya sebanyak mungkin
yang diminta dari Batavia, yang tujuannya untuk menghentikan
perlawanannya di Keratuan Darah Putih Lampung.
Pada tahun 1856, bala bantuan dari Batavia tersebut benar-benar
datang. Untuk bala bantuan kali ini dibawah pimpinan Kolonel Walleson
yang dibantu Mayor Nauta, Mayor Van Oostade, dan Mayor AWP Weitzel. Bala
bantuan ini/atau yang disebut ekspedisi ini terdiri atas 9 buah kapal
perang, 3 buah kapal angkut peralatan, puluhan perahu mayung, dan jung
dengan mengangkut 1.000 serdadu, dan 350 perwira, 12 meriam besar, serta
30 satuan zeni. Dengan datangnya bala bantuan tersebut, pasukan Belanda
mendarat untuk merebut Pulau Sikepal (yaitu daerah Teluk Tanjung Tua),
pada tanggal 10 Agustus 1856, dua hari kemudian pimpinan pasukan Belanda
mengeluarkan ultimatum kepada Radin Intan II dan pimpinan rakyat
lainnya agar menyerahkan diri dalam tempo 5 hari.
Dari Pulau Sikepal pasukan Walseson kemudian bersiap untuk menyerang
Benteng Bendulu, penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 16 Agustus
1856 yaitu melalui daerah Ujau dan Kenali. Benteng Bendulu dapat
dikuasai keesokan harinya tanpa perlawanan. Kemudian pasukan Belanda
bergerak menuju Benteng Hawi Perak, sekitar pukul 8 pagi tanggal 18
Agustus 1856. Namun berita yang beredar, Benteng Bendulu telah direbut
kembali oleh pasukan Radin Intan II. Dengan begitu Walleson dan
pasukannya segera kembali berbalik arah ke Benteng Bendulu. Beteng
Bendulu berhasil direbut kembali oleh Walleson dan selanjutnya dijadikan
sebagai pangkalan (markas) pasukan Belanda dalam penyerbuan ke
benteng-benteng pertahanan Radin Intan yang lain.
Dalam melakukan penyerangan terhadap benteng Katimbang, Walleson
memecah kekuatan pasukan menjadi tiga kelompok yang bergerak melalui
tiga arah yang berbeda; pasukan pertama dipimpin langsung oleh Kolonel
Walleson yang bergerak dari pesisir selatan terus melingkar melalui
lereng timur Gunung Rajabasa ke arah utara. Pasukan kedua yang dipimpin
oleh Mayor van Costade bergerak dari pesisir selatan (Pulau Palubu,
Kalianda, dan Way Urang) melingkar melalui lereng sebelah barat dan
utara menuju Kelau dan Kunyaian, untuk merebut Benteng Merambung dan
kemudian menuju Benteng Katimbang. Pasukan ketiga dipimpin oleh Mayor
Nauta bergerak dari Penengahan melalui hutan untuk merebut Benteng
Salaitahunan dan akhirnya menuju benteng Katimbang.
Keesokan harinya tanggal 19 Agustus 1856, pasukan Walleson berhasil
merebut Benteng Hawi Perak, namun karena sesuatu hal, yaitu cuaca buruk,
maka pasukan Walleson pun terpaksa balik kembali ke Bendulu. Sedangkan
Benteng Hawi Perak dibakar. Setelah membakar benteng tersebut,
selanjutnya pasukan Walleson bergabung dengan pasukan Mayor van Costade
yang bergerak melalui lereng barat Rajabasa. Kemudian pada tanggal 27
Agustus 1856, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Walleson dan Van
Costade berhasil merebut Benteng Merambung, Galah tanah, dan Pematang
Sentok. Benteng Merambung berhasil direbut pada pukul 7 pagi dan Benteng
Pematang Sentok direbut tanpa perlawanan.
Pada saat merebut Benteng Galah Tanah tersebut, pasukan Belanda
mendapat perlawanan yang cukup sengit, sebab pasukan Radin Intan II siap
bertahan, dalam mempertahankan benteng dengan senjata meriam dan ranjau
darat. Akan tetapi akhirnya sekitar pukul 09.00 pagi Benteng Galah
berhasil direbut pasukan Belanda. Sementara itu pasukan Belanda yang
dipimpin oleh Mayor Nauta dengan susah payah berhasil merebut Benteng
Salai Tahunan. Dengan dikuasainya Benteng Galah dan Benteng Salai
Tahunan, terbukalah jalan kearah Benteng Katimbang.
Tanggal 27
Agustus 1856, Benteng Katimbang mulai diserang oleh Belanda, sekitar
pukul 12 siang. Alasan diserangnya benteng ini, karena memiliki
persediaan logistik yang cukup besar yang dipertahankan oleh Raden Intan
II dan pasukannya. Tetapi karena demi segi persenjataan yang tidak
seimbang itulah maka Benteng Katimbang berhasil direbut oleh Belanda
pada pukul 05.00 subuh. Radin Intan dan kawan-kawannya seperti Haji
Makhia, Singa Branta, dan Wak Maas berhasil meloloskan diri.
Dengan larinya Radin Intan II dan beberapa temannya, pasukan Belanda
berusahan mengejarnya. Dengan pengejaran pasukan Belanda tersebut, maka
Radin Intan II melakukan gerilya untuk menghadapi pasukan Belanda.
Akhirnya pasukan Belanda pun dibuat jengkel oleh Raden Intan II. Oleh
karena itu untuk menangkap Radin Intan II di persembunyian, pasukan
Belanda melakukannya dengan berbagai cara yaitu menanyakan dimana
keberadaan Radin Intan kepada penduduk ataupun beberapa wanita, sehingga
keberadaan Radin Intan II pun dapat diketahui oleh Belanda, namun
demikian Radin Intan II tidak dapat ditangkap karena tempat
persembunyian Raden Intan selalu berpindah-pindah, yaitu dari tempat
satu ke tempat lain.
Dengan kesulitan untuk menangkap Radin Intan tersebut, Belanda mulai
membabi buta yaitu melakukan cara-cara yang tidak pada tempatnya seperti
menangkap saudara atau orang-orang terdekatnya Radin Intan II seperti
istri, anak, menantu, maupun saudara-saudara teman seperjuangan Radin
Intan II. Kemudian pada tanggal 9 September 1856 bersamaan dengan
hukuman mati Kiai Wakhia, dan dalam pertempuran berikutnya Wak Maas
dibunuh oleh pasukan Belanda, dan lama-kelamaan Radin Intan II melakukan
perjuangan secara sendirian.
Karena Belanda masih kesulitan
dalam menangkap Radin Intan II, maka satu-satunya jalan Belanda
melakukan tipu muslihat, yaitu dengan cara meminjam orang Lampung
sendiri. Pasukan Belanda berhasil membujuk Kepala Kampung Tataan Udik
yaitu Raden Ngarupat. Raden Ngarupat akhirnya termakan bujukan Belanda,
iapun melalukan perintah Belanda dalam melakukan tipu muslihatnya.
Caranya Raden Ngarupat mengundang Radin Intan II untuk makan malam di
rumahnya. Ketika Raden Ngarupat sedang menghadapi hidangan, pasukan
Belanda langsung menyergapnya. Radin Intan II yang ditemani saudara
sepupunya langsung memberikan perlawanan. Namun sayang dengan kekuatan
yang tidak seimbang, akhirnya Radin Intan II gugur. Dengan gugurnya
Radin Intan II, perlawanan terhadap Belanda sifatnya kecil yang bagi
bagi Belanda mudah untuk mengalahkannya.
Sumber Pustaka
1. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid 1, Disjarah AD bekerjasama dengan Angkasa, Bandung, 1973.
2. Dean G. Pruitt, dkk, Teori konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
3. Pahlawan Nasional Radin Intan II, Leaflet, Pemerintah Propinsi Lampung, Dinas Pendidikan, tahun 2004.
4. Tim Penyusun Kamus, kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 199
http://indonesianvoices.com/index.php?option=com_content&view=article&id=382:perjuangan-raden-intan-dan-raden-imba-melawan-voc-di-lampung-1825-1860&catid=35:sejarah-kemerdekaan&Itemid=56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar